SEJARAH KERAJAAN BANJAR
By : Yuntri Kristanti
Kerajaan banjar
terletak di Kalimantan Selatan yang baribu kota di Banjarmasin. Daerah ini kaya
akan batu permata, kapur barus dan lada.
Daerah ini sangat strategis sehingga belanda ingin menguasainya
Kerajaan Banjar
dipimpin oleh Sultan Tahmidillah I. Sultan Tahmidillah I (1778 – 1808)
mempunyai tiga orang anak , yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu
Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan
kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil
membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan
Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata
diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan
Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari
Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari
pembunuhan Sultan Tahmidillah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah
II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya
Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
Sejak saat itu
Belanda berusaha ikut campur dalam urusan pemerintahan agar kekuasaannya
semakin meluas
Kemenangan Sultan
Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan
menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir
mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809.
Sejak kecil pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik
dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak
belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya
yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas,
jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari.
Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan,
menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang
ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.
Wafatnya Sultan
Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah
hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa
ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai.
Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda
Karena
kesewenang-wenanganan dan perlakuan yang tidak adil dari Belanda munculah
semangat rakyat Banjar untuk mengadakan perlawanan
Selain faktor faktor di atas penyebab terjadinya
pelawanan sebagai berikut :
- Adanya campur
tangan yang semakin luas dalam urusan intern pemeintahan sehingga merusak tatanan keraton. Ketika Sultan Adam Alwasikh
Billal wafat (1857). Balanda mengangkat pangeran Tahmidillah sebagai
Sultan ,padahal yang lebih berhak atas tahta Banjar adalah Pangeran
Hidayat. Para bangsawan dan rakyat tidak puas kemudian mereka menyatu
dengan Paneran Hidayat lalu berontak kepada sultan. Suasana menjadi tegang sehingga Balanda mengambil alih
pemerintahan
- Belanda
menurunkan Sultan dari tahtanya dan menangkap Pangeran Prabu Anom, seorang
yang gigih menentang campur tangan Belanda. Akibatnya rakyat semakin marah
dan siap melakukan perang.
Jalannya Peperangan
Tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran
Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang
dipertahankan mati-matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan
pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan,
yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin,
Pangeran Amrullah dan lain-lain
Pertempuran
mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan
benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu
pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada
tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan
menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.
Sementara itu
Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada
perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda
menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa
kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada
tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh
seorang Residen Hindia Belanda
Perlawanan semakin
meluas, Pangeran Hidayat langsung
memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi
karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran
Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah posisinya.
Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi
kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke
Cianjur, Jawa Barat.
Setelah Pangeran
Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh
pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun
sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai
pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal
14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan
seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat,
pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara
bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin’.
Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11
Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari)
wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah
telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya
seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah
perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin
perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah
Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian
dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti
antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula
gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung
Naro.
Karena kehilangan
pemimpin pemimpinya pelawanan rakyat Banjar pun padam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar