Kamis, 24 Januari 2013


SEJARAH KERAJAAN BANJAR
By : Yuntri Kristanti

  Kerajaan banjar terletak di Kalimantan Selatan yang baribu kota di Banjarmasin. Daerah ini kaya akan batu permata, kapur barus  dan lada. Daerah ini sangat strategis sehingga belanda ingin menguasainya
  Kerajaan Banjar dipimpin oleh Sultan Tahmidillah I. Sultan Tahmidillah I (1778 – 1808) mempunyai tiga orang anak , yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
  Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidillah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
  Sejak saat itu Belanda berusaha ikut campur dalam urusan pemerintahan agar kekuasaannya semakin meluas
  Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
  Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
  Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.
  Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda
  Karena kesewenang-wenanganan dan perlakuan yang tidak adil dari Belanda munculah semangat rakyat Banjar untuk mengadakan perlawanan


  Selain faktor faktor di atas penyebab terjadinya pelawanan sebagai berikut :
  1. Adanya campur tangan yang semakin luas dalam urusan intern pemeintahan sehingga merusak tatanan keraton. Ketika Sultan Adam Alwasikh Billal wafat (1857). Balanda mengangkat pangeran Tahmidillah sebagai Sultan ,padahal yang lebih berhak atas tahta Banjar adalah Pangeran Hidayat. Para bangsawan dan rakyat tidak puas kemudian mereka menyatu dengan Paneran Hidayat lalu berontak kepada sultan. Suasana menjadi tegang  sehingga Balanda mengambil alih pemerintahan
  2. Belanda menurunkan Sultan dari tahtanya dan menangkap Pangeran Prabu Anom, seorang yang gigih menentang campur tangan Belanda. Akibatnya rakyat semakin marah dan siap melakukan perang.


Jalannya Peperangan
  Tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain
  Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.
  Sementara itu Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda
  Perlawanan semakin meluas, Pangeran Hidayat  langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
  Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.
   Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
  Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.
  Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
  Karena kehilangan pemimpin pemimpinya pelawanan rakyat Banjar pun padam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar