Kamis, 24 Januari 2013

aAbBcC


Perlawanan rakyat Indonesia
terhadap pemerintah kolonial Belanda
by: yuntri kristanti

Pemerintahan kolonial Belanda tidak begitu memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia,bahkan dengan praktik – praktiknya menyebabkan rakyat Indonesia sangat menderita. Akhirnya menimbulkan perlawanan, baik berupa perlawanan besar, pemberontakan, dan protes.
Diantaranya :
ü  Perlawanan pattimura,
ü  Perang padri,
ü  Perang diponegoro,
ü  Perang bali,                                      
ü  Perang banjar,
ü  Perang aceh,
ü  Perang Tapanuli / Batak ( 1878 – 1907 )

Penyebab terjadinya perang ini adalah :
  1. Raja Si Singamangaraja xii menentang dan menolak daerah kekuasaannya di Tapanuli Selatan di kuasai Belanda.
  1. Belanda ingin mewujudkan Pax Netherlandica ( menguasai seluruh Hindia Belanda)

Karena igin mewujudkan Pax Netherlandica, yang dilakukan Belanda adalah dengan berlindung di balik  zending yang mengembangkan agama Kristen, dengan menempatkan pasukannya di Tarutung.
-          Pada bulan Februari 1878, Si Singamangaraja xii melancarkan serangannya terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung ( Tapanuli Utara ).
-          Pertempuran meluas sampai ke daerah Buntur, Balige, Si Borang-Borang, dan Lumban Julu. Pertempuran berlangsung selama 7 tahun.
-          Karena kekurangan persenjataan, akhirnya Si Singamangaraja xii semakin terdesak.
-          Dalam keadaan yang lemah, beliau pun kembali  melakukan perlawanan.
Pada saat itu juga Si Singamangaraja xii, dan seorang putrinya, Lapian serta dua putranya, Sultan Nagari, dan Patuan Anggi, gugur. Maka, seluruh daerah Batak jatuh ketangan Belanda……!!!!!

Perlawanan di Lombok (1894)


          Raja Lombok melakukan perlawanan karena dituntut menyerahkan putranya dan mengakui Belanda sebagai perantara menyelesaikan perselisihan raja dengan orang Sasak.
           Dalam pertempuran ini, seorang pimpinan Belanda Jenderal Van Ham tewas.
          Akhirnya, Lombok berhasil dikuasai pemerintah Hindia belanda.
          Tercatat dalam perang itu, Belanda mengalami kerugian yang paling besar di antara perang-perang lain di Indonesia.
           Hal ini dicatat langsung oleh saksi mata, C. Coeln dan dibukukan di negerinya dalam bahasa Inggris.
          Ternyata,  kebesaran perang Lombok lenyap,  tidak diapresiasi oleh generasi selanjutnya untuk sertamerta menghargai perjuangan para pahlawan pembela tanah air yang gugur membela tanah Lombok dari tangan penjajah. Karena sampai sekarang belum ada nama pahlawan yang dapat diajukan secara resmi untuk dijadikan pahlawan nasional.


PERANG BONE
Terjadinya perlawanan rakyat Sulawesi Selatan terhadap Belanda dikarenakan Belanda bermaksud ingin menghancurkan kekuasaan kerajaan yang belum mengakui kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan.
Belanda pernah melancarkan ekspedisi ke Bone pada tahun 1824 dan 1825, dan pada tahun 1838, perjanjian Bungaya diperbaharui.
Hubungan perdagangan antara
Makassar-Singapura mulai berkembang. Di pantai barat Sulawesi, penduduk Bugis yang tinggal di sana mulai membangkang meskipun sudah berulang kali Gubernur Sulawesi dan Taklukannya memprotes; GubJend. Jan Jacob Rochussen mengunjungi Bone pada tahun 1849 namun tidak berhasil mengakhiri ketegangan yang sedang terjadi.
 Atas hal ini, ia menulis dalam sebuah laporan bahwa perang dengan Bone akan dikumandangkan sebentar lagi karena orang Bone harus menisbatkan politik damai dari pemerintah atas kelemahan itu dan menunjukkan keinginan menguasai suatu tempat di
Teluk Bone, agar negeri itu tetap mudah dikendalikan.
Ekspedisi besar-besaran dilancarkan di bawah pimpinan MayJend. Jozef van Geen di saat bersamaan ia diangkat sebagai Komisaris Pertama Urusan Celebes dan Tobias dan Van Schelle, pegawai negeri sipil, disertakan untuk membantunya.
Pasukan ekspedisi itu terdiri atas 4.100 orang, di mana 2.200 adalah serdadu, 1.100 pasukan dari Sumenep dan 800 jiwa dari pasukan penolong dari sejumlah negeri di Sulawesi yang menjadi antek Belanda; armada tersebut dipimpin oleh Kapt. Pietersen dan terdiri atas 7 kapal perang, 3 perahu meriam dan perahu panjang bersenjata.
Pada tanggal 20 Januari 1825, Van Geen menerima jabatan komando tinggi dan seminggu kemudian tibalah kapal Louisa bersama komandan dan staf dari Makassar.
Teluk Bone dipelajari dengan baik dan pantainya dijelajahi. Dengan letak seperti itu, taruna kelas I ,Jan Carel Josephus van Speijk menandainya.
Ekspedisi berlanjut ke Bantaeng dan Bulukumba dan semua benteng ditaklukkan, armada tersebut melanjutkan perjalanan ke Bone, di mana angkatan Bone telah berkumpul di Sinjai. Sekarang serangan di sayap (dipimpin oleh May.
Gey van Pittius) dilancarkan, dan orang Bone dihalau, namun berkelompok di mana-mana dan menebar ancaman untuk memotong jalur pulang, barulah mereka dapat dihalau oleh panah api dari perahu-perahu yang dipimpin oleh Zoutman.

Selanjutnya terjadi serangkaian ekspedisi pengintaian dan penyebuan dan pada tanggal 18 Februari serangan ditujukan ke ibukota Bone namun gerakan ini terpecah di tengah jalan karena daerah itu tak dapat ditembus. Steinmetz terkena tembakan di lengan dan komando harus dialihkan ke tangan kolonel infanteri Jacobus Antony Waleson, sementara LetKol. Kellerman diangkat sebagai wakil komandan. Dengan berbagai kesulitan itu, pasukan berjalan ke kampung Lona; berkali-kali serangan ke ibukota tertunda akibat cuaca buruk namun akhirnya serangan berlalu pada tanggal 28 Februari dan tiba di ibukota yang sudah dikosongkan oleh penduduknya. Pengintaian daerah itu dilakukan, namun tak menemukan musuh dan pasukan kembali ke Bajoe, dan di sini didirikan pertahanan tetap.

Pada tanggal 29 Maret keadaan begitu gawat karena penyakit  sehingga ekspedisi mulai dipertimbangkan untuk dihentikan. Penyakit kolera juga mulai menyerang prajuri. Komandan pasukan menyerukan panglima tertinggi Waleson melalui surat untuk tetap di Bone dan sekarang memanggil dewan perang bersama, yang bersepakat untuk kembali ke Batavia (Jakarta) karena keadaan kesehatan yang buruk. Secara keseluruhan, ekspedisi ini gagal karena tidak ada keputusan politik apapun dan para pejuang Bone masih belum terkalahkan
PERLAWANAN RAKYAT DI BONE
          Perlawanan yang terkenal dalam menentang kolonialisme Belanda adalah Perang Lampung (Lampong Oorlog) pada abad ke-19 yang dilancarkan oleh Radin Intan dari Kalianda selama 30 tahun (1826-1856), sezaman dengan Perang Jawa dari Pangeran Diponegoro serta Perang Paderi dari Tuanku Imam Bonjol. Perang Lampung berakhir dengan gugurnya Radin Intan. Kini Radin Intan telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah seorang Pahlawan Nasional.
          Selanjutnya, perlawanan diteruskan oleh Raden Imba Kusuma ( 1832 ), dan Raden Intan 2 ( 1834 ).
          Pada tahun 1917 daerah Lampung dibagi menjadi dua afdeling dan enam onderafdeling. Pertama, Afdeling Teluk Betung yang meliputi Onderafdeling Teluk Betung, Semangka, dan Katimbang. Kedua, Afdeling Tulang Bawang yang meliputi Onderafdeling Tulang Bawang, Seputih, dan Sekampung.

          Pada tahun 1819 – 1825 perlawanan dipimpin oleh Sultan Najamuddin kemudian dilanjutkan oleh Sultan Badaruddin.

Protes para Petani
Penyebab :
 karena adanya praktik pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa, khususnya dalam menjalankan pungutan pajak, kerja paksa, dan penyewaan tanah, sehingga menyebabkan rakyat menderita.
1.  Ciomas dan Ciampea
      di bawah pimpinan Mohammad Idris.
2.  Purwakarta
      Pada tahun 1913, 400 petani beramai – ramai     mendatangi bupati menuntut pengurangan pungutan cukai yang sangat berat.
3.  Babakan sawah
     Pada bulan Januari 1913 juga melakukan protes tentang pengukuran tanah dipimpin oleh Eming.

4.  Condet, Surabaya
     Pada tahun 1916 juga terjadi protes dibawah pimpinan Enteng Gendut.
5.   Tangerang
      Pada tahun 1924 di bawah pimpinan Kaiin.
6.   Sidoarjo
      Pada tahun 1903 dibawah pimpinan Kyai Kasan Mukmin.
7.   Kediri
      Pada tahun 1907 dibawah pimpinan Kyai Dermodjoja.
Tujuan Protes para Petani :
-          Menentang penindasan dan pemerasan.
-          Menginginkan perbaikan sistem pemungutan tanah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar